Membuang sampah sembarangan = berdosa
Meningkatnya kebutuhan hidup
manusia yang disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
disertai dengan perkembangan ilmu teknologi ( IPTEK) ternyata sangat
berpengaruh dalam kehidupan, baik itu positif maupun negatif. Salah satu dampak
negatif yang cukup menjadi permasalahan adalah “sampah”. Sampah secara harafiah
adalah barang atau benda yang dibuang atau terbuang sehingga mengotori
lingkungan. Bahasa Inggris, sampah disebut ‘WASTE’ yang diterjemahkan dengan
kata limbah. Waste mengandung
pengertian sampah dalam arti yang sangat luas. Waste diartikan sebagai setiap bahan padat, cair atau gas yang
tidak berguna bagi organisme atau ekosistem yang menghasilkannya dan karena itu
diperlukan pemikiran mengenai cara pembunagannya.[1]
Sampah menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah barang/ barang bungan/
kotoran seperti daun–daun kering, kertas – kertas kotor dan sebagainya.[2]
Pembungan sampah selalu berkaitan dengan
lingkungan tempat manusia tinggal. Lingkungan adalah tempat di mana makhluk
hidup berinteraksi. Interaksi inilah yang menunjang organisme untuk bertahan
hidup, sekaligus membawa pengaruh bagi lingkungan dan masa depannya karena
bumilah yang melengkapi kehidupan organisme.[3]
Berbicara mengenai lingkungan berarti berbicara mengenai tempat di mana makhluk
hidup berinteraksi.[4]
Lingkungan dibagi menjadi dua jenis yaitu lingkungan hidup alamiah dan
lingkungan hidup binaan. Lingkungan hidup alamiah adalah suatu sistem yang amat
dinamis yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan makhluk
hidup dan komponen-komponen biotik maupun komponen abiotik lainnya.[5]
Lingkungnan hidup binaan adalah lingkungan hidup alamiah yang didominasi oleh
kehadiran manusia.[6]Oto Soemarwoto berpendapat bahwa lingkungan
merupakan sumber daya. Dari lingkungan ada unsur–unsur yang diperlukan untuk
memproduksi dan konsumsi, akan tetapi sumber daya merupakan daya regenerasi dan
asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan ada di bawa batas
daya regenerasi atau asimmilasi sumber daya dapat digunakan secara lestari.
Akan tetapi batas itu dilampaui sumber daya akan mengalami kerusakan dan fungsi
sumber daya sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan
mengalami gangguan.[7]Kenyataan yang ditemui
lingkungan alam kini telah sakit dan menderita. Hal ini terjadi karena ulah dari manusia itu sendiri. Pada zaman
Paeleolitikum 590.000 sm manusia hidup sebagai pemburu, pencari ikan dan
pengumpul buah–buahan. Zaman ini, hubungan manusia dengan lingkungan alam
sangat harmonis. Manusia sangat
tergantung pada alam sehingga pada saat itu mereka sangat mengontrol
keseimbangan alam ini agar lingkungan alam dapat mendukung kehidupan mereka.
Mereka menggunakan hasil alam tetapi juga memelihara alam. Melalui perkembangan
serta meningkatnya kebutuhan hidup manusia, membuat sikap dasar manusia menjadi
berubah dalam melihat lingkungan alam ini. Sikap dasar dan perilaku manusia
terhadap lingkungan hidup saat ini dipengaruhi oleh paham manusia yang keliru
yaitu paham Antroposentris yang lebih mengutamakan kedudukan dan peran manusia
dibandingkan ciptaan lain, sehingga manusia cenderung mengorbankan mahkluk
ciptaan yang lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri.[8]Dr. Roberth Borrong mengatakan perlu diusahakan untuk mentransformasikan cara
pandang masyarakat yang Antroposentris menjadi ekosentris – holistik. Artinya
manusia bisa saja mengambil segala yang ia butuhkan dari alam tetapi harus
secara proposional, tidak berlebihan dan yang terpenting adalah tidak
menghancurkan alam ini.Seperti perfektif W. H Murdy
yang mengatakan setiap spesies mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Manusia selalu berperilaku seakan kelangsungan hidup manusia jauh lebih penting
dan bernilai daripada kelangsungan hidup makhluk hidup yang lainnya, karena
kelangsungan hidup mansusia bergantung pada kelangsungan hidup makhluk hidup
lain di alam semesta ini, manusia mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan
alam semesta serta isinya. Oleh karena itu, supaya kita bisa bertahan sebagai
individu dan sebagai spesies, haruslah memilih melakukan tindakan–tindakan yang
akan mendukung ‘sistem yang kehidupan bersama’.[9]Argument yang mirip ditemukan oleh F. Fraser
Darling. Menurutnya manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sepsis lain, sebagai “aristocrat biologis”. Sebagai aristocrat biologis,
manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi
istimewa di alam semesta ini, ia menempati puncak rantai makanan dan puncak piramida
kehidupan. Menurutnya, justru karena manusia adalah aristocrat biologis, ia
harus melayani semua yang ada di bawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus
mempunyai tangung jawab moral untuk menjaga dan melindunginya.[10] Menurut istilah
lingkungan untuk manejemen sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang
dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki
nilai ekonomis. Sampah juga dapat diartikan sebagai sisa matrial yang tidak diinginkan
setelah berakhirnya suatu proses. Berdasarkan sifatnya sampah dibagi menjadi
dua yaitu sapah organik dan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang
mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun–daunan kering dan sebagainya
dan sampah anorganik, yaitu sampah yang tidak membusuk, seperti plastik wadah
pebungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng,
kayu, dan sebagainya. Selain itu berdasarkan bentuknya sampah dapat dibagi lagi
menjadi dua yaitu sampah padat dan sampah cair. Sampah padat adalah segala
bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan sampah cair dapat berupa sampah
rumah tangga: sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain–lain,
sedangkan sampah cair adalah bahan ciran yang telah digunakan dan tidak diperlukan
kempali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah seperti limbah hitam yaitu
sampah cair yang dihasilkan dari toilet. Sampah ini mengandung patogen yang
berbahaya. Limbah rumah tangga yaitu sampah cair yang dihasilkan dari dapur, kamar
mandi dan tempat cucian. Sampah ini mungkin mengandung patogen juga.[11]
Kebiasaan manusia yang sering membuang sampah di sembarnag tempat termasuk pantai sangat mengancam kehidupan manusia dan juga tatanan lingkungan air.
Air laut dapat tercemar oleh buangan bahan padat, buangan bahan organik dan
juga buangan bahan olahan bahan makanan. Bahan buangan padat yang dimaksudkan
di sini adalah bahan bungan yang berbentuk padat, baik kasar (butiran besar)
maupun yang halus (butiran kecil). Kedua macam bahan buangan padat tersebut apabila
dibuang ke lingkungan air maka kemungkingan yang akan terjadi adalah:
a. Peralutan bahan buangan padat oleh air Apabila bahan buangan padat larut di dalam air, maka kepekatan air
atau berat jenis cairan akan naik. Ada kalanya pelarutan bahan padat di dalam
air akan disertai pula dengan perubahan warna air. Air yang mengandung larutan
pekat dan berwarna gelap akan mengurangi presentasi sinar matahari ke dalam
air. Akibatnya, proses fotosintesis tanaman dalam air menjadi terganggu. Jumlah
oksigen yang terlarut di dalam air juga akan berkurang. Hal ini sudah tentu
berakibat terhadap kehidupan organisme yang hidup di dalam air. b. Pengendapan bahan buangan padat di dasar air. Bahan buangan
padat berbentuk kasar (butiran besar) dan berat serta tidak larut dalam air
maka bahan buangan tersebut akan mengendap di dasar air. Hal ini sangat
menggangu karena endapan ini akan menutup permukaan dasar air yang mungkin
mengandung telur ikan sehingga telur ikan tidak dapat menetas. Selain itu juga
endapan menghalangi sumber makanan sehingga sumber makanan bagi ikan dan
semua jenis hewan laut menjadi
berkurang. Populasi ikanpun akan menurun.
Bahan
buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau
terdegradasi oleh mikroorganisme. Oleh karena bahan buangan organik dapat
membusuk atau terdegradasi maka akan sangat bijaksana apabila bahan buangan
yang termasuk kelompok ini tidak dibuang ke lingkungan air karena dapat menambah
mikroorganisme di dalam air dan dengan berkembangnya mikroorganisme lain maka
tidak menutup kemungkinan akan ikut berkembang bakteri patogen yang berbahaya
bagi manusia.[13]
Sebagai orang Kristen kita meyakini bahwa hubungan antara manusia
dan ciptaan berasal dari berkat Allah dan perintah dalam kejadian l:28 untuk
“menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas semua makluk hidup.[15] Kata
“menaklukkan dan berkuasa” bukan berarti manusia seenakanya mengeksploitasi
Lingkungan alam, tetapi menjaga dan juga memelihara kelestarian lingkungan alam
ini juga merupakan makna yang terkandung dalam perintah Allah itu. Bisa dilihat juga dalam pernyataan pengakuan iman Kristen yakni pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman
Konstantinopel yang mempunyai keterikatan dengan kitab suci Alkitab (Kej 1 dan
2) adalah Allah sebagai pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan diakhiri
dengan kesaksian bahwa Allah akan membaharui ciptaanNya dalam langit baru dan
bumi baru (Why 21, 22).[16] Oleh
karena itu, alam harus dijaga keutuhannya,[17] karena
alam bukan objek yang dapat diperlakukan oleh manusia sesuka hatinya.[18] Allah
dalam kemahakuasaanNya menjadikan alam semesta dari tidak ada menjadi ada dan
sempurna baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (Kej 1 dan 2, Mzm
24:1-2).[19]
Seluruh ciptaan ditempatkan Allah dalam keselarasan yang saling menghidupkan
sejalan dengan kasih karunia pemeliharaanNya atas ciptaanNya (Kej 1: 29-30;
2:15; Mzm 104: 10-18; Yes 45: 7-8 ), karena Allah tidak menginginkan ciptaanNya
kacau dan saling menghancurkan (Kej 18: 21-22; 9: 8-17). Allah telah memberikan
mandat khusuus kepada manusia untuk turut dalam memelihara dan mengusahakan
kelestarian alam ciptaan Allah itu. Pengrusakan terhadap alam semesta pada
dasarnya adalah perlawanan terhadap Allah, yang telah menjadikan segala sesuatu
yang senantiasa memelihara dalam kasih dan kesetiaan. Sejak permulaan hingga
akhir Tuhan Allah memerintah, memelihara dan menuntun segenap ciptaanNya dengan
kasih setia dan adil ( Maz 123: 9; 146: 6). Ia terus menerus menentang segala
kekuasaan yang hendak merusakkan ciptaanNya, dan menuntun seluruh ciptaannya
menuju kesempurnaan dimana segala ciptaan bertekuk lutut dan mengaku “Yesus
adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa (Filipi 2: 10).[20]
Menurut
Sonny Keraf, manusia adalah penyebab pencemaran dan rusaknya lingkungan. Hal
ini dipengaruhi oleh cara pandang manusia yang menganggap diri lebih mulia dari
ciptaan yang lain sehingga manusia sendiri mempunyai hak untuk menguasai alam
ini. Hal ini sejalan dengan teori Antroposentrisme yang memandang mansuia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap
yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil
dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya hanya manusia yang mempunyai nilai
dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karena itu, alam dilihat sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Selain bersifat
antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian pola
hubungan manusia dan alam dilihat hanya relasi instrumental. Alam dinilai sebagai
alat kepentingan manusia, kalau pun manusia mempunyai sikap peduli terhadap
alam, itu semata–mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan
karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga
pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi
kepentingan manusia alam akan diabaikan begitu saja.[21]
Teori
semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan
manusia. Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya,
tidak menjadi pertimbangan moral. Cara pandang seperti ini menyebabkan manusia
mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan
kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Pola
prilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut
dianggap berakar pada cara pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia.
Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan
manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan
kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia. Apa
saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan
mansuia, sejauh tidak mempunyai dampak yang merugikan kepentingan manusia.
Kepentingan manusia yang dimaksud di sini lebih bersifat jangka pendek itulah
akar dari berbagai krisis lingkungan hidup.[22]maka diperlulah suatu pegangan etis yang kokoh,
yakni suatu nilai etis yang berporos dan berorientasi kepada mempertahankan dan
memelihara kehidupan alam ini. Kesadaran akan kehidupan yang saling tergantung
kepada dan dengan kehidupan orang lain bahkan saling terkait dengan lingkugnan
sekitar perlu semakin dipupuk, bahwa kesejahteraan seseorang berkaitan dengan
kelangsungan alam ini. Era globalisasi ini etika kehidupan amat diperlukan. Dan
karena itu perlu dipelihara bersama, jika tida mansuia dan planet ini akan
hancur.[23]
Lingkugnan
adalah tempat tinggal manusia dan merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang
sangat mulia. Ketika manusia tidak memelihara lingkungan itu dengan baik,
lingkungan hidup ini akan menjadi sesuatu yang mengancam kehidupan manusia.
Bayangkan saja ketika lingkungan hidup sering dieksploitasi dengan tindakan membuang sampah semmaka pasti akan terjadi
bencana–bancana alam seperti banjir, tanah longsor, pemanasan global dan itu mengancam
kehidupan manusia belum lagi terdeteksinya berbagai penyakit-penyakit baru yang
berbahaya bagi kehidupan manusia. Lingkungan hidup adalah bagian dari manusia
dan manusia wajib untuk memelihara kelestariannya guna kehidupan di masa yang
akan datang.
Kewajiban
menjaga dan melestarikan lingkungan alam ini adalah juga mandat dari Tuhan
Allah dalam kitab kejadian 1:8 menyatakan sebagai manusia yang percaya kepada
Tuhan Allah, harus dapat menjalankan amanatNya dengan baik. Teologi penciptaan memberikan gambaran, bahwa
Allah mencipta karena Ia mengendaki kehidupan lain di saping dirinya dan Dia
berkenaan atas kehidupan yang diciptakan-Nya itu supaya mengalami damai sejahterah.
Maka Etika lingkungan Kristen perlu pula mengembangkan etika mengenai damai
sejahterah. Etika damai sejahterah ini penting, sebab hidup bersumber dari
Allah dan Allah menghendaki agar kehidupan itu terus berada dalam keadaan yang
aman dan sentosa.
Ini jelas bahwa ketika manusia tidak bertanggung jawab dengan alam
dan lingkungan ini maka dami sejahterah akan jauh dari kehidupan manusia.
Manusia berada pada berbagai ancaman alam yang berasal dari kealpaan manusia yang tidak menjaga
lingkungan itu.
Cerita penciptaan dikatakan manusia dan seluruh ciptaan mengalami
damai sejahterah di bumi ketika di awal penciptaan itu tetapi pemberontakan manusia yang menyebabkannya jatuh
ke dalam dosa mengakibatkan damai sejahterah itu tidak dapat dialami lagi.
Manusia menjadi bermusuhan dengan Allah maupun dengan ciptaan lainnya dan
kedatangan Yesus di bumi juga bertujuan untuk memulihkan damai sejahterah yang
hilang itu. Pendamaian itu mencakup semua isi bumi ( 2Kor 5:18-19; Kol 1:19-20)
jadi pendamaian itu mencakup seluruh alam semesta, Allah dan manusia, manusia
dan alam ini. Konsep Kristologi dan soteriologi mendudukan manusia dan sesama
ciptaan di bumi berada dalam posisi yang setara, saling menghargai dan
menghidupkan sehingga ini menjadi penting, ketika manusia tidak memelihara
lingkungan tempat ia tinggal maka sama saja dengan berbuat kejahatan dan mereka
telah berbuat dosa karena melanggar perintah Allah.
[1] Borong, Etika Bumi
Baru, (Jakarta: PT.BPK, Gunung Mulia, 2003), Hlm. 123[2] W.J.
Poewadar, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Hlm.
862[3] Bernard S. Cayne,
Ensyclopedia Vol.10 ( New York: Intenational Edition, 1972), Hlm. 479[4] Tim Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: balai pustaka,
1990), Hlm
601[5] Staf Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasiional Indonesia (Jakarta: Delta
Pamungkas,2004), Hlm
395[6] Ibid., hlm 396[7] Oto soemarwoto, ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan,
( Jakarta: djambatan, 1994),
Hlm. 59[8] Dr. William Chang, OFMCap, Moral Lingkungan Hidup
(Yogyakarata: kanisius, 2001), Hlm. 66[9] A. Sonny Keraf Etika Lingkungan Hidup (Jakarta:Kompas, 2010), Hlm. 57[10] Ibid.,
Hlm 57[11] Wikipedia.com, Sampah dan jenisnyai: http://id.wikipedia.org/wiki/sampah. (17-06-2011)[12] Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemamran Lingkungan, (
Yogyakarta: Andi, 2004).
Hlm 79[13] Ibit., hlm 80[14] Wisnu Arya Wardhana, Op.Cit.,
Hlm 81[15] Celia Deane-Drummond,
Teologi Dan Ekologi (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2001), Hlm 1916] Robert P. Borrong,
Op.Cit., Hlm 180[17] Ibid., Hlm 184[18] Ibid., Hlm 185[19] Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia, Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan
Gereja-Gereja Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hlm. 46[20] Ibit., Hlm 47[21] A. Sonny Keraf, Op.Cit., Hlm
47[22] Ibid., Hlm 49[23] Andar Ismail, Ajarlah
Mereka Melakukan, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2006), Hlm. 231
Grand Casino: Casino in Scottsdale - MapyRO
BalasHapusA map 문경 출장안마 showing Grand Casino, located in 영천 출장안마 Scottsdale, 문경 출장샵 Arizona, including elevation, This map is a representation 영주 출장안마 of the Grand Canyon Casino in 안동 출장안마 Canyon